Kebijakan Politik Islam Jepang

Source: Tropen Museum

Jepang mencoba memanfaatkan kondisi Indonesia, umat Islamnya agar tumbuh dan bergantung pula kepada Jepang. Digariskanlah kebijakan yang bersifat depolitisasi umat Islam. Partai Politik dan Organisasi sosial pendidikan di atas, dilarang mengadakan aktivitas organisasinya.
Sebagai substitusi, dan sekaligus diharapkan mampu memobilisasi potensi umat Islam dibentuklah Shumubu – Kantor Urusan Agama, yang dipimpin oleh Kolonel Horie, pada akhir maret 1942. Terlihat betapa cepatnya antara pendudukan dengan pembentukan Shumubu. Dengan demikian Jepang telah lama memprogramkannya.
Shumubu yang dipimpin oleh tentara Jepang, ternyata tidak dapat bekerja sebagaimana yang diharapkan. Tidak mampu memobilitaskan rakyat, umat Islam saat itu sukar untuk dipimpin oleh orang asing. Oleh karena itu, Kolonel Horei digantikan oleh Hoesein Djajadiningrat, tetapi karena sebagai pakar agama Islam, yang tidak pernah memimpin organisasi sosial Islam, tidak pula mempunyai pengaruh pada umat. Oleh karena itu, diadakan lagi reorganisasi Shumubu dengan menggantikan Ketua Shumubu oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Akibat baru saja keluar dari tahanan, karena menolak menjalankan saikerei menghormati ke arah Tokyo, maka aktivitas harian diserahkan kepada wakilnya Wahid Hasyim.
Melalui pimpinan NU, Jepang mengharapakan Shumubu tidak saja mampu memobilitaskan massa umat Islam, melainkan juga logistik. Tetapi dengan diplomatis sekali mengenai pengakuan Gunseikan terhadap Ulama. Didasarkan perlunya Ulama memahami budaya Jepang, dan segenap tata kehidupan Jepang. Dari pemahaman ini agar dikembangkan kepada generasi muda. Secara tidak langsung Gunseikan meminta kesadaran dan kecintaan terhadap Jepang. Selanjutnya dari kecintaan akan menumbuhkan pengorbanan untuk Jepang.
Setelah pembentukan Shumubu, Jepang mengizinkan pembentukan wadah baru guna menyalurkan aktivitas mantan pimpinan parpol dan ormas, pada 29 April 1942, dibentuk organisasiTiga-A (Nippon Pemimpin Asia, Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia), Organisasi ini dipimpin oleh Shimitzu dan Samsudin (Parindra). Makna Nippon sebagai Pemimpin Asia, sebagai bahasa lain, Saudara Tua dalam pengertian politik. Demikian pula makna Cahaya dan Pelindung, memberikan kesan bahwa Indonesia belum mampu mandiri sebagai bangsa merdeka tanpa petunjuk dan payung Jepang.
Demikianlah upaya Jepang dalam menciptakan kondisi baru, depolitisasi umat Islam Indonesia. Dimatikan kesadaran politik Indonesia Merdeka, dibangkitkan kesadaran baru, dialihkan kecintaan berorganisasinya bukan untuk Islam semata, tetapi juga kepada aktivitas memenangkan perang Jepang dengan slogannya Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.
Kebijakan politik mematikan organisasi sosial politik umat Islam, dan membangun wadah baru dengan change target, agar umat Islam mendukung tujuan pembaharuan Jepang atas Indonesia. Upaya pembaharuan yang demikian itu dapat diprediksikan Jepang akan menemui kesulitan dalam mengaplikasikan change strategi-nya. Apalagi Jepang melihat kenyataan perangnya, menghadapi serangan balik Sekutu yang tidak dapat dibendung lagi. Jepang menderita kekalahan di semua medan. Jepang merasa perlu mengadakan pendekatan baru terhadap pimpinan nasional yang benar memiliki massa rakyat yang kongkrit.
Setiap kebijakan politik Jepang sebagai penjajah tidak terlepas dari kepentingan devide and rule – pecah belah untuk dikuasai. Dalam pandangan politik Jepang, bangsa Indonesia memiliki dua kubu pimpinan : Nasionalis Islam dan Nasionalis dari organisasi non Islam (Nasionalis Sekuler).
Untuk umat Islam diizinkan membangun kembali Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) (4 September 1942) dan Majelis Syura Muslimin Indonesia – Masyumi (November 1943), namun Jepang juga menciptakan Pusat Tenaga Rakyat – Putera (Maret 1943). Bila MIAI dipimpin oleh Wondoamiseno dari PSII, Masyumi dipimpin K.H. Hasyim Asy’ari dari NU, sedangkan Putera dipimpin oleh empat serangkai, dengan ulamanya K.H. Mas Mansur dari Muhammadiyah, selain Bung Karno (PNI), Bung Hatta (PNI Baru) dan Ki Hajar Dewantara (Taman Siswa). Dari penempatan Ulama yang berbeda-beda organisasinya yang dipimpinnya, terlihat adanya pemahaman Jepang bahwa setiap pembaharuan tanpa ada ikut sertanya Ulama di dalamnya, akan menemui kegagalan. Tetapi dari pemecahan itu pula terbaca upaya devide and rule-nya Jepang terhadap potensi umat Islam.
Dari sisi lain, kebijakan pembubaran MIAI diikuti dengan pembentukan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada tahun 1943, terbaca pengalihan kepercayaan Jepang kepada Ulama NU. Pimpinan utama organisasi ini, diserahkan kepada Khudratus Syeikh K.H. Hasyim Asyari, Rais Akbar Nahdlatul Ulama.
Dalam aktivitas hariannya diserahkan kepada Ketua Mudanya, Wahid Hasyim, putera K.H. Hasyim Asari seperti halnya dengan Shumubu di atas. Sekalipun terjadi seperti Shumubu lagi, namun Jepang mengandalkan kharismatinya Khudratus Syeikh K.H. Hasyim Asyari walaupun secara fisik tidak aktif dalam Shumubu, maupun Masyumi, namun dengan didelegasikannya kepada Wahid Hasyim, kedua organisasi tersebut akan dapat berjalan seperti yang diharapkan Jepang.
Hal ini dipertimbangkan sesuai Nippon’s Islamic Grass Root Policy yang diarahan kepada memobilitaskan massa dan materi umat Islam dari desa, maka Jepang melihat NU sebagai organisasi pemilik massa desa. oleh karena itu, ditumpahkan kepercayaan Jepang kepada pimpinan jamiah NU.
Disamping itu, Jepang juga membangun Mahkamah Tinggi Islam Indonesia- Kaikyoo Kootoo Hooin, dan Balai Penyelidikan Kebudayaan Islam Indonesia – Kaikyoo Bunka Kenkyuu Zyo, serta Perpustakaan Kebudayaan Islam Indonesia – Kaikyoo Bunken Syo. Untuk pengumpulan dana umat Islam, dibentuklah Baitul Maal. Sepintas Jepang benar-benar akan menegakan Syariah Islam, dan akan mencerdaskan umat Islam. Dibalik kebijakkan ini, tetap terselip kepentingan kepenjajahannya dalam mengeksploitasikan potensi umat. Kesemuanya ini merupakan bagian dari sistem persenjataan sosial (sisos) dari Jepang, lebih menginginkan dengan pendekatan budaya dalam merangkul umat Islam. Tentunya Jepang belajar dari pengalaman para penjajah Indonesia terdahulunya.

Disisi lain dengan kebijakannya, Jepang mengharapkan kedua kekuatan nasionalis tetap dalam perpecahan. Masyumi kontra Putera. Di atas keretakan keduanya, Jepang berharap untuk dapat bertahan lama menguasai Indonesia, dan mampu mengendalikan meredam perjuangan bangsa Indonesia yang menginginkan Indonesia Merdeka.

0 Comments