Becak di Surakarta : Nasibmu kini

pic source: Wikimedia Commons


 Ciri khas Becak Surakarta Pudar

Salah satu ciri khas dari Becak di Surakarta adalah berupa cat batik pada bagian kanan dan kiri badan becak, serta lukisa-lukisan di badan becak yang muncul sebagai lukisan rakyat (pop art) yang menunjukan roh kehidupan seni lukis asli rakyat Solo.[1] Diketauhi bahwa kebanyakan becak digambari dengan judul TDH (Tarsan Dengan Harimau), kemudian ada pula becak Benhur, becak Teratai, becak Mawar Merah yang semuanya berwarna cerah.[2] Namun dari hal tersebut muncul banyak perbedaan-perbedaan yang sangat mencolok hingga akhirnya disatukan dengan penyeragaman penggunaan slogan Solo Berseri yang merupakan akronim Bersih, Sehat, Rapi, dan Indah yang merupakan slogan Kota Surakarta. Penyeragaman warna becak, gambar, dan sloganini membuat becak-becak di Surakarta tampak pucat, kaku dan seperti terbelenggu dalam suatu peraturan.
Selain itu, pengecata batik pada sisi kanan-kiri becak juga mulai memudar, dikarenakan banyak tukang becak telah mengecat ulang becaknya dengan warna polos dan tidak terikat lagi dengan penyeragaman warna becak. Banyak juga tukang becak yang menjadikan becaknya sebagai alat komersialisasi suatu produk tertentu. Mereka membiarkan becaknya digambari hingga ditempeli dengan iklan-iklan rokok dan juga seluler, bahkan ketika pemilu datang, para tukang becak juga dijadikan sebagai alat promosi calon-calon wakil rakyat. Hal inilah yang membuat ciri khas becak mulai memudar dengan perlahan dikarenakan semakin mendesaknya kebutuhan para penarik becak yang tidak berbanding lurus dengan penggunaan transportasi becak yang semakin menurun, sehingga para tukang becak menggunakan berbagai cara untuk mencari tambahan penghasilan yang salah satu caranya dengan mulai mengkomersialisasikan becaknya untuk media promosi.
Pola pikir masyarakat Solo diarahkan dan didorong terus menuju pada konsepsi barat. Pada sebuah konsepsi kapitalis, individualistis, dan materialistis, yang sangat bertentangan dengan kekeluargaan dan tepo sliro. Makanya, ketika sifat orang Jawa Solo bergeser pada keadaan seperti di atas mengindikasikan ada kesalahan dalam frame berpikir masyarakat.[3]
Namun ada juga pihak yang mengaku keberatan dengan pengkomersialisasian becak, seperti yang dilakukan Forum komunikasi Keluarga Becak (FKKB), mereka menilai hal tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap pendapatan pengemudi, tapi becak hanya dijadikan ikon promosi namun tidak ada kepedulian terhadap nasib pengemudinya. Padahal becak dengan ciri khas cat batiknya mampu menarik minat warga dan juga wisatawan asing.



Becak Merasa Dianak tirikan di Kota Surakarta


Pekerjaan sebagai pengemudi becak sangat berat secara fisik, sebab ia menggunakan tenaga manusia. Secara sosial, pengemudi becak menyandang status rendah, bahkan di kalangan kelompok marjinal. Ada keyakinan umum bahwa mereka tidak pintar. Tetapi, berdasarkan pengalaman berinteraksi dengan anggota kelompok ini di Solo, persepsi ini belum tentu benar. Sekalipun kebanyakan mereka tidak menamatkan sekolah dasar, banyak pengemudi becak di Solo sangat berwawasan tentang situasi sosial dan politik.
Kebijakan dasar yang diimplementasikan oleh pemerintah Kotamadya Solo menyangkut becak berganti-ganti antara “penertiban” dan “penghapusan” mereka. Perda No. 9/1991 hendak mengatur keberadaan pengemudi becak di Solo dengan mengurangi jumlahnya secara bertahap. Berapa banyak pengemudi becak yang dibolehkan beroperasi di Solo setiap tahun diputuskan oleh Walikota tanpa konsultasi dengan beragam perkumpulan pengemudi becak yang ada. Peraturan ini juga mengatur waktu operasional pengemudi becak, yang terbagi dalam waktu kerja siang dan waktu kerja malam. Pengemudi becak dari wilayah lain dilarang memasuki Kota Solo. Peraturan ini juga meminta agar pengemudi becak memiliki surat izin dan registrasi.
Peraturan tambahan mengenai pengelolaan lalu lintas kota melarang pengemudi becak melintasi jalan-jalan tertentu seperti Jalan Jenderal Sudirman, di mana Balai Kota terletak. Alasan yang diberikan adalah mengurangi kepadatan lalu lintas dan memelihara keteraturan lalu lintas sebab tidak ada jalur lambat yang disediakan bagi pengemudi becak di jalan ini. Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah mengenai transportasi di Solo cenderung meningkatkan level kompetisi di antara jumlah pengemudi becak yang menurun dan persediaan transportasi publik jenis motor. Ketentuan pemerintah daerah, misalnya, selalu menambah jumlah rute transportasi angkutan dan taksi serta sepur kelinci . Akibatnya, kebijakan-kebijakan itu lebih menekan kehidupan sehari-hari pengemudi becak. Pendapatan mereka menurun drastis sementara harga kebutuhan sehari-hari meningkat: Ada rute yang biasa menjadi milik kami, tetapi kini dipakai oleh angkutan. DLLAJ sangat aktif mengeluarkan izin operasi baru, sehingga pengemudi becak merasa hak-hak mereka diserobot oleh rute angkutan nomor 03,05, 04, dan 09.[4]
Bagi masyarakat Surakarta keberadaan becak sangat vital sekali karena digunakan sebagai alat transportasi sehari-hari dan juga merupakan alat transportasi yang sangat murah. Becak juga mempunyai peran penting dalam industri pariwisata di Surakarta, sejak zaman orde baru becak digunakan sebagai transportasi utama di Kampung Batik laweyan.
Becak ini menjadi saksi sejarah perjalanan transportasi di Surakarta, dan menjadi garda paling depan untuk dijadikaan daya tarik wisatawan. Serta keberadaan becak ini memperkuat citra Surakarta sebagai kota Sejarah, namun pemerintah kurang memperhatikan nasib becak ini dengan kurangnya prioritas yang didapatkan oleh para pengemudi becak. Keberadaan becak ini mulai tergusur dengan maraknya moda transportasi yang lebih modern misalnya, taksi, Sepur Kluthuk Jaladara, dan Bis Tingkat Wrekudara. Bahkan keberadaan becak yang sering mengantar wisatawan asing dengan mangkal di depan hotel-hotel ternama di Surakarta sudah tergusur dengan keberadaan taksi yang mulai mendominasi.





[1] Oase estetis, kanisius 2006 jogja mudjisutrisno hlm 12-13
[2] ibid
[3] http://labib85.wordpress.com/2011/02/23/mitos-atau-budaya/
[4] http://nafyahana.blogspot.com/2012/01/dinamika-dan-tuntutan-kelompok-marjinal.html

0 Comments