Sebuah Perbandingan : Biografi-Autobiografi dalam masa Orde Baru



Penulisan biografi di Indonesia sangatlah berbeda dari penulisan biografi di Barat. Tanpa menyingkap perasaannya, sang tokoh selalu berada di baris depan, selalu aktif dan berusaha sekuat tenaga mengikuti keteladanan tokoh pahlawan terkemuka. Telah ditunjukan dalam suatu grafik bahwa secara umum peningkatan penulisan biografi dan fiksi dalam perjalanan waktu tidak saja mencerminkan bahwa pasar buku di Indonesia semakin luas, karena kemampuan baca tulis telah meningkat dan teknologi cetak semakin murah, tetapi juga mencerminkan kegiatan pengadaan buku yang semakin komprehensif oleh KITLV. Namun pada akhir 60-an dan awal 70-an industri penerbitan mengalami goncangan yang dikarenakan oleh subsidi kertas yang dicabut dan juga banyaknya judul buku yang tidak berarti membuat produksi buku di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan negara Asia yang lainnya.
Terjadinya fluktuasi produksi buku biografi maupun fiksi pada antara tahun 70-an sampai 80-an disebabkan oleh tiga sebab. Yang pertama adalah judul biografi yang tersimpan di KITLV untuk tahun 1980-an adalah masa orde baru mencapai sekitar lima persen dari produksi total buku bukan buku pelajaran di sekolah  dan bukan buku terjemahan di Indonesia. Yang kedua, buku biografi tidak pernah tertinggal jauh di belakang novel dalam segi jumlah. Dan yang ketiga adalah jumlah dari kedua buku ini mengalami kenaikan yang besar dari awal hingga pertengahan tahun 1990-an. Hal ini juga didukung dengan datangnya era keterbukaan ketika pembatasan oleh sensor diperlunak.
Biografi dan autobiografi adalah hal yang sama tetapi terdapat beberapa hal yang beda. Yang membedakan antara biografi dan autobiografi adalah dalam penulisannya autobiografi sebenarnya ditulis oleh penulis belakang layar (ghost writer), mengapa disebut seperti itu karena nama penulisnya mungkin tercantum pada sampul buku atau mungkin tidak. Tapi juga ada autobiografi yang ditulis sendiri oleh tokoh yang ingin dijadikan buku biografi tersebut. Sedangkan biografi adalah biografi yang ditugaskan atau dipesan oleh sang tokoh. Oleh karena itu banyak biografi yang dijadikan sebagai alat untuk memperkuat pandangan publik terhadap tokoh tersebut dan sebagai ruang pamer, terutama saat mendekati pemilihan umum pada zaman demokrasi ini. Kedua hal tersebut, baik biografi maupun autobiografi biasanya didasarkan pada wawancara, walaupun hal ini disembunyikan karena dihindarinya penggunaan kutipan. Sang tokoh juga jarang sekali memberikan dokumen tertulis sehingga para penulis biografi yang karena kurangnya waktu sang tokoh dan tidak ada usaha untuk mendorong sumber-sumber tertulis ini berbicara. Yang berarti biografi yang khasnya biasanya menceritakan kepada pembacanya apa yang ingin disampaikan sang tokoh pada saat buku itu ditulis tetapi dibungkus sedemikian rupa sehingga kelihatan objektif.

Perbedaan tulisan biografi Barat dengan biografi di Indonesia yang tampak jelas adalah di Barat subjek paling populer adalah penulis sastra, sedangkan di Indonesia subjek yang paling populer selalu pahlawan nasional. Hal ini dapat disebabkan bahwa Indonesia adalah negara yang mempunyai banyak pahlawan nasional. Bahkan pada masa pemerintahan otoriter Demokrasi Terpimpin tahun 1959, ada satu kantor khusus yang menjaga gawang untuk masuk ke dalam barisan pahlawan nasional. Kantor itu ialahDirektorat Urusan Kepahlawanan Nasional Departemen Sosial.
Salah satu pengamatan yang mencolok bagi pembaca buku biografi Indonesia ialah bahwa buku biografi Indonesia sangatlah berorientasi tindakan (action oriented). Demikian juga halnya dengan buku-buku biografi serius yang bukan merupakan buku teks. Oleh karena, menolak menyingkapkan kehidupan batin sang tokoh, buku-buku itu terkesan naif. Bahkan istilah biografi atau autobiografi pada umumnya tidak tepat. Buku-buku itu sebenarnya memoar. Apabila autobiografi menguraikan seluruh kehidupan sang tokoh; sebuah memoar hanya menguraikan sebagian saja mengenai kehidupan sang tokoh. Menutupi kehidupan/pribadi (inner life) adalah aturan main dalam genre ini. Potongan-potongan di sana-sini tentang kehidupan batin ini dapat kita temukan jika kita membaca secara kritis berbeda dengan cara baca konvensional. Karena biasanya biografi Indonesia disusun secara kronologis.
Ketiadaan ungkapan kehidupan batin ini semakin menonjol bila biografi atau memoar Indonesia dibandingkan dengan beberapa biografi mengenai orang Indonesia yang ditulis orang asing. Dalam psikoanalisa ditawarkan cara untuk mengkaji kehidupan batin, juga kehidupan pada subjek bukan-barat. Misalnya, soekarno digambarkan sebagai politisi-seniman, berlatar belakang pendidikan arsitektur dan seorang yang mencinta lukisan. Kehalusan jiwa seni Soekarno adalah akar dari estetisisme kekuasaan, yang seperti Naziisme yang mencanangkan sebuah ilusi persatuan sosial dan politik yang sebenarnya tidak ada. Namun, kita sebagai sejarawan, tugas kita bukan mengecam tetapi memahami mengapa tidak ada ungkapan kehidupan batin, dan mengapa genre biografi di Indonesia menyukai gaya orientasi tindakan dan menonjjolkan diri sendiri.
Sejarah orang-orang besar sudah menjadi arus utama (mainstream) dalam historiografi Indonesia sejak Mohammad Yamin mulai menulis pada tahun 1920-an. Arus utama ini mengingatkan pembaca terhadap pandangan yang menekankan diri pada pelaku sejarah, pada tindakan-tindakan tokoh pahlawan, bukan pada pertarungan kekuatan-kekuatan sosial. Masalahnya, justru pandangan sejarah semacam inilah memang yang dianut oleh tokoh-tokoh itu sendiri. Jika kita sendiri juga menganut pandangan itu, maka berarti kita dipaksa untuk menerima kata-kata mereka begitu saja. Hal ini berarti kita tidak dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendalam mengenai bahan-bahan itu, dan menjadikan kegiatan penelitian bagian dari pengagungan apa yang ada.

Tiga penulis biografi Indonesia mencoba mengatasi masalah membaca biografi dengan mengikuti arus teks tapi sambil menjaga jarak kritis, melalui berbagai cara. Menariknya, tidak satupun dari orang yang disebutkan setelah ini yang menggunakan metode psikoanalitis. Mereka adalah Susan Rodgers, Bill Watson, dan Etienne Naveau. Susan Rodgers sengaja memilih kehidupan orang kecil, dengan menuliskan autobiografi dua orang biasa di Sumatra Utara dan menggambarkan dengan ironi yang rendah hati transisi pribadi mereka dari kampung ke Indonesia modern. Akan tetapi kisah kehidupan orang kecil seperti ini sdikit sekali dalam khasanah buku biografi Indonesia. Pemahaman diperoleh karena fokus dialihkan ke pinggir. Sementara itu kita msih tetap belum tahu caranya membca biografi bukan mengenai orang pinggiran.
Bill Watson meneliti autobiografi orang-orang Indonesia yang jauh lebih terkemuka. Ia menghubungkan mereka semua dengan pengalaman yang umumnya dialami banyak orang Indonesia, perjuangannya untuk mewujudkan keadilan di bawah Orde baru dalam bukunya  yang kedua. Untuk kedua bukunya ini ia memilih individu dari berbagau lingkungan sosial. Dalam buku pertamanya terdapat tokoh-tokoh seperti Kartini yang mewakili pelopor gerakan perempuan dan simbol kebangsawanan, terdapat pula tokoh yang mewakili lingkungan nasionalisme kiri seperti Tan Malaka, Hamka (agama), Sitor Situmorang (suku), dan N.H. Dini (gender). Dan dalam buku keduanya ia menafsirkan autobiografi dari tokoh oposisi selama masa Orde Baru, termasuk tokoh komunis lama seperti Hasan Raid dan anak-anak muda beraliran kiri baik Islam maupun non-Islam. Pendekatannya terinspirasi oleh Wilhelm Dilthey, seorang ahli psikologi dan sejarawan asal Jerman dari abad ke-19 yang menawarkan ‘empati’ sebagai cara untuk menembus makna segala sesuatau. Tujuan Watson ialah menghidupkan kembali semangan zaman dan untuk membiarkan orang Indonesia berbicara kepada dunia dengan suara mereka sendiri.
Dan yang terakhir adalah Etienne Naveau, yang mempunyai pendapat kunci untuk memahami autobiografi Indonesia itu bukan upaya untuk menyelami diri sendiri tetapi sebuah pertunjukan yang dirancang untuk mengahdirkan citra yang diinginkan mengenai diri ke dunia luar. Buku-buku biografi di Indonesia umumnya tidak memiliki ketegangan emosi dengan dunia seperti yang terdapat dalam autobiografi Barat. Tokoh-tokoh tersebut tampaknya seperti pasarah dan hanya menunaikan tugas yang diberikan kepada mereka oleh takdir atau kehendak Tuhan.

Sebagian besar penulisan biografi Indonesia bersifat subjektivis. Dalam objektivisme, tindakan subjek ditentukan oleh struktur kekuasaan di luar individu besangkutan, apakah itu kekuasaan budaya, politik, atau material. Dalam subjektivisme, subjek bertindak atas dasar identitas otonom dari dalam dirinya. Menurut Bourdieu, kedua pendekatan ini menghasilkan pemahaman yang berharga tetapi tidak memuaskan jika berdiri sendiri-sendiri, karena itu keduanya sebaiknya digabung. Tanpa membahas terminologinya yang berpengaruh secara telalu rinci, diskusi singkat mengenai dua konsep kunci akan membantu kita. Kedua konsep itu ialah habitus dan field. Habitus kadang-kadang dijelaskan sebagai paham permainan yang ada atau paham yang harus dilakukan di pihak sang tokoh. Program kontekstualisasi radikal yang kita butuhkan untuk dapat memahami mengapa buku-buku biografi Indonesia amat beda, membutuhkan kita untuk membaca isi buku itu maupun mengamati struktur disekitarnya yang menentukan berapa besarnya pengaruh. Sifat klise dan ritus “aku” pahlawan yang disajikan dalam (auto)biografi kaum elite sama sekali bukan buah dari kepribadian yang unik, tetapi suatu respons melalui habitus pada kondisi persaingan dalam field.
Ketika terjadi keterbukaan pada masa Orde baru, banyak sekali buku-buku serta film-film yang mulai “berani”. Dan pada tahun 1990 merupakan tahun yang sabnagt penting bagi industri penerbitan, juga untuk buku biografi. Sebelumnya, negara sebagai pengendali ideologi, tetapi dari jenis yang dijadikan sangat pribadi yang mulai mendominasi semua pembahasan dalam masyarakat  luas. Setelah itu, pengendali itu kehilangan kekuasaannya dan kita menyaksikan keragaman yang semakin meningkat yang dapat diartikan sebagai demokratisasi penulisan riwayat hidup.
  
Pada masa Orde baru, biografi kaum elite sangatlah egois. Jika kita gunakan dengan serius metode Bourdieu mengenai penempatan dalam konteks secara radikal, dapat kita lihat bahwa biografi elite bermula di puncak paling atas di dalam masyarakat, tempat dimana kekuasaan diperlakukan sebagai hal sangat pribadi. Moodal simbol di dunia seperti ini jauh lebih penting daripada legalitas birokrasi. Anggota masyarakat harus meluangkan waktu yang amat banyak untuk membangun profil mereka di antara rekan-rekan dan atasan-atasan mereka, dan ini mereka lakukan dengan menggunakan modal lambang pahlawan nasional. Lapangan politik Indonesia bercirikan Negara yang lemah dan dengan demikian sebuah etika yang bernuansa pribadi dan besaing. “Aku” yang berjuang dengan penampilan yang tegas yang berpusat pada ego, ketidakpercayaan pada orang lain yang bersifat kronis, kesetiaan dan pengkhianatan gaya militer, adalah akibat kekuasaan yang dianggap bersifat pribadi.
Menurunnya jumlah buku biografi kaum elite yang tampil tegas diimbangi oleh munculnya buku biografi jenis baru, yang bebas dari klaim berkekuatan dalam, untuk menggali lebih banyak lagi aspek-aspek kehidupan dari hanya sekedar menggali aspek-aspek nasional. Kekuatan dari pendekatan Bourdieu terletak pada kemampuannya membantu kita untuk memahami pergeseran semacam itu secara lebih baik dengan mengaitkan dengan perubahan ekonomi dan politik tertentu. Sejauh ini buku biografi jenis baru ini telah bebas dari aturan yang diterapkan oleh kaum elite. Bentuk-bentuk biografi jenis baru yang mempunyai kualitas yang bagus adalah Catatan Harian Ahmad Wahib dan Buku Harian Soe Hok Gie. Kedua buku tersebut mempunyai daya tarik dalam kejujurannya yang luar biasa, tidak saja mengenai dirinya sendiri, melainkan mengenai kehidupan pribadi yang lebihkompleks dari tokoh tersebut. Lalu muncul pula buku-buku biografi tokoh-tokoh dunia perusahaan yang memberikan warna baru. Dalam arti ini, buku tersebut berbicara lebih dari sekedar promosi diri, hal yang menarik pada umumnya adalah sifat kepribadian yang membentuk seorang pengusaha yang berhasil. Kemudian terdapat juga biografi mengenai penjahat-penjahat yang terkenal, yang mempunyai kelebihan  bahwa nilai-nilai lapisan atas tidak terlalu tampak, dan kebanyakan berbentuk sebagai novel biografi. Novel biografis sendiri mencakup bidang yang lebih luas daripada kejahatan. Contohnya yang paling terkenal adalah novel biografi karya Pramudya Ananta Toer dalam tetraloginya Bumi Manusia.
   
Biografi memang tidak bisa lepas dari seorang tokoh yang mempunyai pengaruh yang besar, tetapi menurut saya penulisa autobiografi sebenarnya kurang pas. Karena sang penulis hanya akan melihat dari satu arah saja, yaitu menurut dirinya sendiri saja yang memungkinkan terjadinya subjektivitas. Sebaiknya penulisan (auto)biografi memang dilakukan oleh penulis yang telah profesional dan mempunyai kredibilitas yang tinggi untuk menghindarkan terjadinya “pamer”. Penulisan biografi juga bukan hanya menggunakan sumber lisan dari sang tokoh saja melainkan sumber lisan dari orang-orang terdekat dari sang tokoh. Perkembangan biografi memang mencapai puncaknya pada masa Orde Baru, hal ini dibuktikan pada antara tahun 1970-an sampai akhir 1990-an, biografi menjadi salah satu alat bagi elite yang berkuasa untuk unjuk gigi, terutama saat akan terjadi pemilihan umum. Ketatnya aturan penulisan pada masa ini juga menyebabkan para penulis biografi jika dilihat secara terbuka hanya menulis untuk kesenangan sang tokoh saja.
Biografi pada masa itu bersifat kaku, atau terlalu terpacu pada pakem biografi pada masa Orde baru tersebut. Seperti halnya dengan menutupi kehidupan batin/pribadi adalah salah satu aturan utama. Dan pertanyaan yang muncul adalah mengapa tidak ada ungkapan kehidupan batin dan mengapa genre biografi di Indonesia menyukai gaya berorientasi tindakan dan menonjolkan diri sendiri. Hal tersebut dapat dijawab dengan mengacu ke konsep Jawa tentang kekuatan dalam (potensi). Dalam konsepsi tersebut, mengungkapkan kehidupan batin akan berakibat melemahkan tenaga dalam itu. Menonjolkan diri melalui tindakan berarti memperagakan tenaga dalam itu kepada orang lain.
Selain itu, cara membaca dan mengartikan dari sebuah biografi mempunyai cara tersendiri. Cara membaca tidak dengan melawan arus atau dengan terlalu kritis pada teks tetapi membaca sesuai alur. Cara membaca seperti ini mencerminkan pernyataan standar dalam pengantar hampir semua memoar : penulis berkilah ia sebenarnya enggan tetapi akhirnya menyerah karena desakan pihak-pihak lain agar menyampaikan pengalamannya kepada generasi muda. Catatan harian adalah salah satu bentuk penulisan autobiografi yang sangat juju menurut saya,karena penulis menuliskan segala yang terjadi dalam hidupnya. Sedangkan memoar kurang bisa disebut sebagai sebuah biografi karena hanya menuliskan sebagian atau momen-momen penting dalam kehidupan sang tokoh.
  
Penggunaan analisis Bourdieu mengenai subjektivitas dan objektivitas, kemungkinan dapat diterapkan dalam mengaitkan gaya-gaya penulisan biografi dengan konfigurasi kekuasaan di Indonesia pada akhir masa Orde Baru. Akhir masa orde baru sering disamakan dengan akhir dari Soviet, dimana terjadi sebuah tahap dari transformasi sosial yang cepat dan dalam yang membuka kesempatan untuk mengumpulkan informasi tentang tata kerja habitus. Oleh karena sementara habitus itu sendiri sudah kurang lebih tercetak sejak awal kedewasaan, perilaku yang dihasilkan dapat berubah secara radikal pada saat field yang membatasinya kehilangan stabilitas dan berubah menjadi keadaan tidak menentu.
Penggunaan tata bahasa dalam autobiografi terutama dalam penggunaan kata”aku” dan “saya” semakin memperkuat instrumen tenaga dalam seperti yang telah disebutkan diatas. Terutama dalam autobiografi Soekarno dan Soeharto, kata tersebut dalam perannya yang paling sederhana dan paling berani dikatakan telah menggusur semua elemen yang lain dalam pembahasan politik. Biografi Soeharto dalam masa Orde Baru dapat dibayangkan bahwa dalampenjualan bukunya tersebut sangat kental sekali dengan unsur kedekatan penguasa. Misalnya, penerbit dari Biografi Soeharto adalah percetakan milik anaknya sendiri yaitu Tutut dan juga didukung dengan industri “kepahlawanan” dari Departemen Pendidikan. Dan kebanyakan biografi pada masa itu juga masih terpusat dengan “kepahlawanan” di pulau Jawa, bagaimana dengan perkembangan biografi di luar Jawa, apakah sama dengan yang terjadi di Jawa ataupun sudah bebaskah dalam penulisannya.
Keterbukaan yang terjadi selepas memudarnya masa Orde baru membuat muncul banyak sekali penulis biografi yang tidak lagi menulis mengenai tokoh-tokoh elite penguasa saja. Melainkan sudah menjamah beberapa aspek kehidupan, mulai dari kehidupan sehari-hari, olahraga dan juga ekonomi. Namun tidak dapat dipungkiri lagi biografi mengenai pahlawan tetap kuat bertahan, tapi dengan penulisan yang lebih baik. Karena pembaca yang sudah lebih kritis  dalam penilaian suatu biografi.

Sumber :

RESENSI Bab 6 “Aku” yang berjuang : Sebuah sejarah penulisan tentang diri sendiri pada masa Orde Baru .

0 Comments