Gapuran A.K.A Gunungan dalam gaya Surakarta



Pertunjukan wayang dahulunya dilakukan pada saat malam hari yang bertujuan untuk memanggil roh para leluhur. Namun, kini pertunjukan wayang hanya dilihat dari nilai estetisnya saja, misalnya dalam keindahan simpingan, penataan gamelan, garapan iringan, lakon, maupun pesan moralnya. Pada zaman kerajaan, pertunjukanwayang mengandung dimensi politis meemperkuat kedudukan dan wibawa raja.
Pertunjukan wayang, sebagaimana diketahui, pada hakekatnya adalah pertunjukan lakon. Secara fisik lakon terbentuk dari perpaduan unsur-unsur garap, meliputi narasi dan dialog, gerak wayang, serta karawitan pedalangan yang antara lain terdiri atas gending, sulukan kombangan, dhodhongan keprakan, tembang, dan sindhenan serta dengan menggunakan wayang sebagai media aktualisasi tokoh-tokohnya. Lakon sebagai sentral pertunjukan sekaligus sebagai bingkai yang mengarahkan penggarapan catur, sabet, dan karawitan pedalangan. Oleh karena itu jika melihat pertunjukan wayang semestinya yang dihayati adalah lakonnya.
Lakon wayang tersusun dari serentetan adegan yang masing-masing adegan menampilkan seorang atau beberapa orang tokoh dengan status dan karakter masing-masing. Perbedaan status dan karakter ini mewarnai timbulnya perbedaan pandangan, silap, perilaku, pembicaraan, situasi batin, dan cara mengambil keputusan.
Tokoh-tokoh yang tampil dalam lakon wayang, secara individu atau bersama dengan tokoh-tokoh lain membentuk kelompok-kelompok yang saling mendukung dan/atau berseberangan. Terbentuknya kelompok ini antara lain karena masing-masing anggota adalah satu keturunan, terikat kewajiban, persaman tujuan, persamaan visi, persamaan kepentingan, dan persamaan golongan. Interaksi antara tokoh-tokoh dalam suatu adegan dari suatu pihak yang sama, karena perbedaan karakter, status, dan sudut pandang dalam menanggapi suatu permasalahan seringkali menyebabkan timbulnya konflik meskipun masih dalam wacana kebersamaan. Demikian juga interkasi antar tokoh atau kelompok tokoh dari satu pihak dengan pihak lain karena perbedaan kepentingan, perbedaan visi, atau persamaan tujuan menyebabkan timbul konflik baik non fisik dan . atau fisik. Konflik juga dapat terjadi dalam diri seorang tokoh ketika tokoh yang bersangkutan sedang dilanda masalah. Konflik-konflik inilah yang menyebabkan timbulnya peristiwa lakon.
Di antara seperangkat wayang kulit purwa, kayon atau gunungan adalah figur yang memiliki peran sangat dominan dalam pertunjukan wayang kulit purwa. Disebut gunungan karena bentuknya gunung yang berisi mitos Sangkan Paraning Dumadi, yaitu asal mulanya kehidupan. Menurut riwayat, gunungan melambangkan dunia dan isinya. Gunungan disebut juga sebagai kekayon, yang berasal dari kata Kayon yang berarti mengayuh. Gambaran gunungan dengan seluruh isinya, sangatlah penting kedudukannya dalam pertunjukan wayang kulit purwa jika dilihat dari sudut maknanya. 
Gapuran merupakan gambaran kehidupan yang menyimbolkan keseimbangan makro dan mikro. Terdapat aspek-aspek yang hakekatnya melambangkan dunia atas yang disimbolkan dengan burung dan dunia bawah yang disimbolkan dengan ular dan naga. Gapuran berbentuk boneka wayang gunungan pada wayang kulit purwa, golek purwa, krucil, wayang gedhog, wayang menak berupa gambaran visual berupa : dua ekor merpati, dua naga, mahkota raja, bendera gamelan, senjata meriam, dua makara bermata dua, dua makara bermata satu, bintang, rembulan, dan matahari. Serta dibagian bawah dilukis dua raksasa yang memegang gada dan sebuah pedang. Secara fisik gunungan gapuran ini berbentuk ramping dan pada bagian bawah bergambar gapura yang pada sisi sebelah kiri maupunkanan dijaga oleh raksasa Cingkarabala dan Balaupata, sedangkan pada belakang bergambar api yang membara.
Fungsi dari gunungan dalam setiap pertunjukan wayang kulit adalah untuk pembuka dan penutup pertunjukan. Digunakan sebagai pergantian babak atau sebagai batas cerita, serta untuk memadatkan jalannya cerita. Gunungan juga berfungsi sebagai alat peraga berwujud ganda, seperti halnya dapat menjadi pohon, angin, samudra, gunung, guruh, halilintar, dan mampu menciptakan suatu efek tertentu.
Bentuk-bentuk kayon sangatlah bervariasi mulai dari Kayon Gapuran yang telah di deskripsikan di atas, terdapat juga Kayon Blambangan atau disebut juga gunungan wadon yang berbentuk lebih gemuk dan pendek jika dibandingkan dengan Kayon Gapuran. Pada bagian bawah terdapat gambaran kolam dengan air jernih yang ditengahnya terdapat lukisan sepasang ikan berhadapan. Sedangkan bagian belakang bergambar lautan atau langit yang berwarna biru bergradasi. Terdapat juga Kayon Klowongan yang berbentuk berlubang pada tengahnya yang diciptakan oleh Bambang Suwarno untuk pertunjukan wayang gaya Surakarta, yang dipakai untuk mengibaratkan keluar masuknya roh. Dan juga terdapat Kayon Kadewan, Kayon Lingkungan Hidup, Kayon Revolusi, dan Kayon Bunga-bunga. Tidak semua dalang mampu memainkan semua Kayon tersebut.
Ada sumber yang menyebutkan bahwa gunungan diciptakan oleh Sunan kalijaga pada zaman demak. Ada lagi sumber yang mengatakan bahwa gunungan sudah tergambar pada lembaran wayang Beber yang dimainkan oleh rakyat pada zaman Majapahit. Dalam perkembangannya, sampai tahun 1960 para dalang masih menyajikan pakeliran dengan menggunakan adegan gapuran, dengan munculnya dalang-dalang seperti Ki Pujosumarto, Ki Nyotocarito, dan Ki Arjo Carito. Hingga kemudian munculah Ki Narto Sabdo yang mulai memasukkan unsur dari luar Surakarta dalam setiap pertujukannya, sehingga adegan gapuran jarang ditampilkan. Bentuk dan seni kriya gunungan selalu berubah dari zaman ke zaman. Antara daerah satu dengan yang lain juga terdapat perbedaan bentuk. Misalnya saja gunungan Wayang Parwa Bali, tidak runcing ujungnya seperti pada seni kriya gunungan Wayang Kulit Purwa Surakarta dan Yogyakarta. Bentuk Gunungan pada Wayang Kulit Purwa Bali bentuknya lebih realistik menyerupai pohon sebenarnya, sedangkan di pulau jawa bentuknya lebih distilir.
Pada 1737 masehi, Susuhunan Paku Buwana II di Kartasura memerintahkan para seniman keraton untuk menciptakan karya seni kriya gunungan baru, yang memasukkan unsur gambar ”gapuran”. Gunungan dengan gapuran ini diberi candra sengkala Gapura Lima Retuning Bumi, yang melambangkan angka tahun jawa 1659 atau 1737 Masehi. Dalam perkembangan dunia perwayangan, gunungan gapuran ini sering juga disebut Gunungan Lanang.
Selain gunungan gapuran, di dunia wayang kulit purwa juga mengenal beberapa jenis gunungan lain yakni gunungan Gunungan Blumbangan atau yang sering disebut Gunungan Wadon. Gunungan Gapuran lebih ramping, lebih menampilkan kesan runcing, dibandingkan dengan Gunungan Blumbangan. Kelompok kami akan mencoba untuk merealisasikan gambar Gunungan Gagrak Surakarta. Gunungan ini termasuk kedalam kelompok Gunungan Gapuran. Gunungan ini pada bagian muka menyajikan lukisan bumi, gapura dengan dua raksasa, halilintar, hawa atau udara, dan yang asli ada gambar pria dan wanita. Tempat kunci atau umpak gapura bergambarkan bunga teratai, sedangkan diatas gapura digambarkan pepohonan yang banyak cabangnya dengan dedaunan dan buah- buahan. Di kanan-kiri pepohonan terlihat gambar harimau, banteng, kera, burung merak, dan burung lainnya. Di tengah-tengah pepohonan terdapat gambar makara atau banaspati ( wajah raksasa dari depan). Sedangkan di balik gunungan terlihat sunggingan yang menggambarkan api yang sedang menyala. Ini merupakan sengkalan yang berbunyi geni dadi sucining jagad yang mempunyai arti 3441 dibalik menjadi 1443 tahun Saka. Gunungan tersebut diciptakan oleh Sunan Kalijaga pada tahun 1443 Saka.
Dalam gaya Surakarta sendiri terdapat tiga adegan, yaitu  Pathet Nem, Pathet Sanga, dan Pathet Manyura. Pembagian lakon ke dalam tiga wilayah patet ini, selain secara teknis sebagai dasar pembabakan lakon wayang, juga terkait dengan penggarapan lakon sekaligus termasuk garap unsur-unsurnya. Dalam pandangan budaya Jawa, salah satu hal yang mengandung unsur tiga adalah purwa, madya, dan wasana. Tiga hal ini jika dikatkan dengan lakon wayang, purwa berarti awal terjadinya lelakon, madya berarti munculnya permasalahan lakon dan terjadinya konflik-konflik, sedangkan wasana menunjuk bahwa permasalahan lakon telah terselesaikan. Wasana mengandung makna bahwa lakon wayang telah berakhir, artinya tutug.

Pathet Nem
Bagian ini merupakan babakan masa orang tua dari anak manusia yang akan dilahirkan  dan dijadikan simbol dari perjalannya mengarungi jalan kehidupan. Musik pengiring pada awalnya menggunakan pathet manyura sebagai simbol babak ini adalah babak dari cerita kedua orang tua si anak dalam persiapannya mempersatukan wiji thukul, kemudian baru pada awal sidang jejeran dirubah ke nathet nem melalui sulukan pathet nem ageng.
1. Jejer atau adegan pertama, dilanjutkan babak unjal, bedholan, dan gapuran.
Babak ini dimulai dari dibedolnya kayon dari tengah panggung pagelaran dan ditancapkan pada sisi papan adegan. Ini menggambarkan dimulainya tergelarnya jagad raya, macro cosmos: tempat panggung kehidupan pribadi manusia dengan segala alur riwayat hidupnya masing masing berlangsung, Jejeran sendiri menggambarkan persiapan  sidang perkawinan antara pihak tuan rumah dan tamu, kemudian dilanjutkan babak unjal, babak yang biasanya ditandai antara lain oleh sulukan sendhon pananggalan lan datangnya tamu yang melambangkan datangnya mempelai pria calon orang tua manusia yang akan menjalani kehidupan. Hingga adegan bedholan dan gapuran yang masih dalam alur cerita pernikahan dari anak manusia yang akan lahir sebagai alur gambaran perjalanan hidup.
2. Adegan kedhaton, dilanjutkan limbukan
Adegan kedhatonan menggambarkan bertemunya mempelai pria dan wanita dalam menurunkan benih cintanya. Ada kalanya adegan ini hanya berupa narasi lanjutan dari narasi gapuran, kedhatonan hingga narasi sanggar pamujan; dimana dipanjatkan do’a dari orang tua untuk keselamatan janin yang telah berbuah. Adegan limbukan sendiri berkembang belakangan, ketika jaman menuntut masuknya banyak permintaan akan hiburan yang lebih dalam pagelaran wayang kulit, serta dijadikannya babak ini menjadi arena untuk propaganda.
3. Adegan paseban jaban, dilanjutkan budhalan, kapalan, pocapan, kereta atau gajah, dan perang ampyak
Adegan ini melambangkan persiapan lahirnya anak manusia  beserta upacara upacara yang menyertai saat dalam kandungan hingga saat kelahirannya.
4. Adegan sabrangan (dapat dilakukan sekali atau dua kali).
Masa kecil anak yang baru lahir ini dihadapkan banyak macam penyakit yang siap untuk membuat anak menjadi korban pada rentannya masa balita. Tokoh sabrangan ini digambarkan sebagai penyakit yang siap menjangkiti anak balita yang masih rawan.
5. Adegan perang gagal
Adegan ini melambangkan trial and error, masa coba-coba anak-anak yang belajar untuk maju atas kegagalan yang dialaminya.

Pathet Sanga
Pathet sanga diawali dengan sulukan pertanda pergantian pathet dengan terlantunnya sulukan pathet sanga wantah. Babak dimana anak manusia meniti kehidupan masa remaja hingga kedewasaannya. Awalnya dapat berupa adegan pertapan, kesatriyan, alas, atau didahului dengan  gara-gara. Tiba saat si anak menimba ilmu dari sekolah formal. Petuah dari sang pertapa dalam adegan pertapan, digambarkan sebagai turunnya ilmu dari guru yang menjadi bekal si anak dalam menjalani kehidupannya kedepan. Kesatrian, alas (hutan) adalah lingkungan arena pendadaran dalam masa sekolah.
Sedangkan gara gara ada sementara yang tidak dilakukan  pada babakan pagelaran wayang kulit pada masa lalu, tetapi saat sekarang hampir pasti digelar, sebagai refresh dari panjangnya perjalanan pagelaran.
Adegan perang kembang
Ujian pertama dari hasil berguru dilambangkan dalam adegan ini. Adegan perang digulirkan dalam nuansa yang riang dan penuh dengan banyol, sebagaimana masa anak muda yang masih memandang belajar masih sebagai sebuah arena mencari jati diri.
1. Adegan sintren atau sanga pindho atau magak
Tahapan belajar terus berlanjut, namun lebih ke hal yang serius, anak manusia belajar juga dari tata kehidupan di masyarakat. Pada masa ini anak muda itu juga sudah mulai melirik mencari pasangan hidup.
2. Adegan perang sampak tanggung
Kesulitan hidup sudah mulai dialami disimbolkan dalam adegan perang sampak tanggung. Ketika anak manusia mulai disapih dan mulai menentukan jalan hidupnya sendiri, termasuk dalam menetapkan pasangan hidup dan memulai babak kehidupan barunya dari awal.


Pathet Manyura
Manyura berarti merak, atau didalam bahasa Jawa diartikan perak yang artinya dekat, mendekat menuju ujung dari perjalanan hidup. Secara fisiologis puncak perkembangan kebugaran anak manusia sudah mencapai titik optimal dan secara perlahan menuju penurunan.
1.    Adegan manyura sepisan
2.    Adegan manyura pindho
3.    Adegan manyura katelu
Ketiga tahapan manyura, adalah penggambaran dari perjalanan anak manusia yang sudah mencapai tataran kedewasaan penuh dan sebagai orang tua dengan berbagai tahapan kesulitan dan kebahagiaan dalam membina rumah tangga serta mengasuh anak, diselingi dengan kejadian-kejadian suka duka yang mengiringi titian hidup. Juga menggambarkan kembalinya masa puber seorang yang sudah mapan, hingga kadang terpeleset kedalam cobaan yang sulit ditanggulangi.
4.  Adegan manyura brubuh
Telah rapuh raga, dan penyakit sudah mulai menggerogoti kesentosaan wadag yang dulu sentosa sewaktu muda. Perang antara wadag yang sudah tergerogoti umur dangan penyakit yang sudah mudah menjangkit, tergambar dalam perang brubuh. Perang antara kebenaran dan kebatilan, perang antara tokoh baik; protagonis; dan tokoh dari golongan antagonis; golongan jahat.
5. Adegan tayungan
Tayungan adalah pengamuknya prajurit kebenaran dalam menumpas  kebatilan, dilanjutkan dengan tarian kemenangan dari sang Hero. Kebenaran alam adalah akhir dari perjalanan anak manusia yang pasti terjadi. Peristiwa sakaratul maut dilambangkan dalam adegan  ini.
6. Tancep kayon dan atau golekan
Gunungan atau kayon kembali ditancapkan ke tengah panggung, itulah tancep kayon. Berakhirlah sudah perjalanan hidup seorang anak manusia, dari tanah kembali ke tanah. 


Sumber :

Resume Skripsi “STUDI TENTANG ADEGAN GAPURAN DALAM GAYA SURAKARTA” Karya Sudarto dan berbagai sumber lainnya.

0 Comments