Gambar: Tampak Depan STOVIA tahun 1920
Awal Perjalanan Pergerakan Nasional Indonesia
Benih-benih
pemikiran revolusioner mulai berkembang dari abad ke 17 di Eropa dan pada abad
ke 18 ide-ide tersebut telah berhasil tersebar ke seluruh penjuru Eropa. Ide
revolusioner yang dimaksud adalah ide-ide mengenai ilmu pengetahuan dan
pendidikan. Pemikiran serta ide ini disebut sebagai pencerahan jaman di Eropa.
pendidikan dan pengetahuan yang sebelumnya berpusat pada gereja kemudian
berkembang lebih mengutamakan nalar seperti menghidupkan roh-roh pengetahuan
dari jaman Yunani dan Romawi, tuntutan kebebasan untuk menyelenggarakan
pendidikan bagi seluruh rakyat tanpa berlandaskan agama, pemisahan peranan
antara agama dan gereja sehingga negara dapat menentukan kebijakan-kebijakannya
sesuai dengan keinginan rakyatnya. Terjadinya perubahan pandangan mengenai
gereja dan negara tersebut menyebar ke seluruh penjuru Eropa. Negeri Belanda
juga mendapat pengaruh bidang politik dari pandangan pencerahan ini dan
akhirnya abad ke 19 paham mengenai kebebasan dari perbudakan serta
kebebasan dalam pendidikan terbawa ke nusantara.
Pembukaan
daerah Hindia-Belanda bagi modal asing di tahun 1870 membawa jalannya
pendidikan diarahkan kepada kebutuhan pemerintah akan pegawai dan kebutuhan
pengusaha asing akan buruh. Orang-orang pribumi diberi pendidikan untuk
membantu agar para pemodal yang membuka usaha di wilayah Hindia Belanda
terbantu dengan pekerja murah sehingga menarik para pemodal yang lain untuk
datang dan akhirnya pemerintah dapat memperoleh keuntungan dari kegiatan usaha
di Hindia Belanda ini. Melihat kebutuhan pegawai untuk pemerintah dan para
pengusaha, pendidikan bagi kaum pribumi dibagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama
merupakan sekolah dasar kelas satu. Ditujukan untuk anak-anak para priyayi,
bangsawan, dan aristokrat. Tujuan untuk memenuhi kebutuhan pegawai pemerintah,
pegawai para pedagang, pegawai para pengusaha. Lama belajar 5 tahun. Selain
ilmu dasar baca, tulis, dan hitung diajarkan pula ilmu bumi, sejarah,
pengetahuan alam, menggambar, dan pengukuran tanah. Bahasa pengantar dengan
menggunakan bahasa daerah dan melayu. Guru yang mengajar berasal dari sekolah
guru ( kweekschool ) sehingga siswa menjadi lebih terampil. Untuk dapat sekolah
di sini wajib untuk membayar uang sekolah. Bagian kedua adalah sekolah dasar
kelas dua. Sekolah ini diperuntukkan bagi pribumi biasa. Tujuannya hanya
sebagai pemenuhan kebutuhan dalam pengajaran di kalangan rakyat biasa. Materi
pelajaran yang diberikan hanya membaca, menulis, dan berhitung. Lama pendidikan
3 tahun. Guru yang mengajar tidak harus dari lulusan sekolah guru.
Bermula
dari kebutuhan tenaga kesehatan untuk orang pribumi, tahun 1811 beberapa orang
pribumi diberi pelatihan untuk menjadi juru cacar. Semakin banyaknya kebutuhan
juru cacar maka pelatihan diberikan secara regular kepada rakyat pribumi.
Sekolah ini mulai dibuka pada tahun 1851, lama pendidikan ditambah satu tahun
dari pelatihan juru cacar sehingga menjadi 2 tahun dan pengajarnya dari dokter
serta apoteker militer. Sekolah ini disebut sekolah dokter jawa, para
lulusannya diberi gelar dokter jawa. Materi pelajaran yang diberikan mengenai
pengetahuan penyakit, perawatan bagi orang sakit dan pembedahan ringan. Kemunculan
Sekolah Dokter Jawa yang kemudian namanya berubah menjadi STOVIA ini ternyata
mampu merubah sejarah bangsa Jawa, sebuah bangsa yang penakut dan selalu patuh
pada atasan, menjadi bangsa yang mempunyai kepribadian. Keadaan ini tidak lain disebabkan
oleh adanya sistem pendidikan. Meskipun hanya dapat dinikmati oleh sebagian
kecil masyarakat bumiputra, tetapi ternyata mampu membuka cakrawala baru.
Keadaan masyarakat Jawa yang semakin terbelakang dan tertinggal dari
bangsa-bangsa asing lain di Jawa, semakin diberinya batasan antara golongan
priyayi dan rakyat dengan mendirikannya sekolah untuk perwira bumiputra yang
hanya boleh dimasuki oleh anak-anak priyayi saja, serta perasaan takut para
pembesar terhadap atasannya baik atasan bumiputra maupun Belanda, ternyata mendapat
perhatian sebagian kecil siswa-siswa STOVIA itu.
Di
dalam perkembangannya sekolah ini mengalami perubahan-perubahan baik dalam
syarat-syarat penerimaan siswa, kurikulum, lama studi, maupun gelar yang
diperoleh. Pada tahun 1903 diperkenankannya seluruh anak-anak di wilayah Hindia
Belanda untuk memasuki sekolah itu, maka nama sekolah itu kemudian dirubah
menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (Sekolah Pendidikan Dokter
Bumiputra) yang disingkat STOVIA. Pada
awalnya Pemerintah Hindia Belanda sendiri yang berusaha untuk menarik minat
para pemuda dari keluarga baik-baik untuk meningkatkan pendidikannya dengan
jalan memberi iming-iming sejumlah beasiswa dan perumahan gratis.18 Sebagai
imbalannya, mereka harus bersedia masuk pada dinas pemerintah, antara lain
sebagai “mantri cacar”.19 Akan tetapi, karena tradisi para priyayi memandang
rendah terhadap pekerjaan-pekerjaan praktis seperti dokter dan guru, maka hanya
sedikit saja priyayi yang tertarik pada sekolah itu. Oleh karenanya, pada tahun
1891 pemerintah mengumumkan bahwa setiap anak muda yang ingin memperoleh
pendidikan sebagai Dokter Jawa diperbolehkan masuk di sekolah dasar Eropa
secara gratis, dengan persyaratan bahwa anak muda itu harus cerdas, berasal
dari keluarga priyayi, dan berumur tidak lebih dari tujuh tahun. Mereka akan
diterima sebagai siswa ELS secara gratis dengan persetujuan diam-diam sesudah
lulus dari sekolah itu akan menempuh ujian yang berat untuk masuk di Sekolah
Dokter Jawa.
Anggapan
bahwa STOVIA adalah sekolah untuk orang miskin. Penilaian semacam itu terjadi karena
pemerintah menerapkan sistem beasiswa, menggratiskan biaya pendidikan dan
pemondokan, bagi mahasiswa STOVIA. Oleh karena itu, hanya orang tua yang kurang
mampu yang berminat mengirimkan anaknya ke sekolah tersebut. Akan tetapi,
justru di kalangan anak-anak miskin inilah muncul tokoh-tokoh nasional
Indonesia yang militan, baik dibidang kedokteran maupun pejuang sejati. Kunci
dari munculnya tokoh-tokoh nasional Indonesia yang militan dari STOVIA itu
rupanya tak terlepas dari tempat sekolah ini berada. Weltevreden adalah sebuah
pusat kota Batavia. Pusat kegiatan politik, ekonomi, dan kebudayaan, serta
sebuah kota besar di Hindia yang merupakan pintu gerbang dengan dunia luar. Di
lingkungan inilah berkumpul para intelektual yang memungkinkan di antara mereka
untuk saling berinteraksi dan saling bertukar pikiran mengenai berbagai hal. Para
pelajar STOVIA yang kebanyakan berasal dari kota-kota kecil itu memperoleh
dorongan intelektual dari kota besar dan modern dilingkungan sekolahnya.
Batavia juga menjadi kediaman suatu kelompok intelektual non epribumi, yang
tidak besar tetapi sedang tumbuh. Oleh karena itu wajarlah jika para pelajar
STOVIA bergaul dengan para intelektual itu dengan akibat terpengaruh oleh
ide-ide mereka.
Anak
bangsa telah bangkit, ia mulai berani menyuarakan isi hati yang biasanya disimpannya
rapat-rapat agar orang lain tidak dapat mengetahui, sebuah sikap pengendalian
diri dari budaya khas Jawa. Anak bangsa telah memiliki kepribadian, telah
mempunyai sikap, dan dapat menilai serta menyuarakan dengan jujur sesuai dengan
hati nuraninya. Api kesadaran itu sedikit demi sedikit mulai muncul di kalangan
pemuda terpelajar yang dapat melihat diskriminasi-diskriminasi yang ditimbulkan
oleh adat dan tradisi Jawa yang penuh dengan tatanan feodal serta tahayul yang
berlebih-lebihan. Hal itulah yang mengakibatkan sulitnya manusia Jawa untuk
dapat mengaktualisasikan dirinya. Kondisi masyarakat yang seperti itulah yang
selalu menjadi bahan perbincangan para pelajar STOVIA. Mereka sering
memperbincangkan berita-berita yang dimuat dalam koran de Locomotief,
Bataviaasch Nieuwesblad, Java Bode, Pemberita Betawi, dan majalah Jong Indie.
Endapan-endapan
pemikiran para pemuda yang menginginkan perubahan itu semakin mengental setelah
kedatangan Dokter Wahidin Soedirohoesodo pada akhir tahun 1907 yang mengkampanyekan
keinginannya kepada para priyayi Jawa yang kaya dan berpengaruh agar diadakan
dana belajar untuk membantu para pelajar yang tidak dapat melanjutkan studinya.
Dokter Jawa itu berpendapat bahwa lapisan bawah masyarakat itu perlu untuk
diberi pengajaran yang sebaik-baiknya, karena perluasan pengajaran itu akan
dapat menumbuhkan kesadaran kebangsaan. Gagasan Dokter Jawa itu telah membuka
pikiran dan hati para pelajar STOVIA, serta mendatangkan cita-cita baru.
Gagasan yang telah dirumuskan itu kemudian diterapkan dengan membentuk suatu persatuan
di antara orang-orang yang berkebudayaan sama, yaitu orang Jawa, Sunda, dan
Madura, tanpa memandang kedudukan, kekayaan, atau intelektualitas sebagai salah
satu syarat sebagai anggota, untuk dididik agar terjadi keharmonisan antara
negara dan rakyat.
Salah
seorang pelajar STOVIA yang bernama Sutomo segera menghubungi kawan-kawannya
untuk mendiskusikan mengenai nasib bangsanya. Pada hari Minggu, tanggal 20 Mei
1908 Sutomo dan kawan-kawannya di ruang kelas Sekolah Kedokteran STOVIA di
Batavia atau Jakarta mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama Budi Utomo
(Budi Luhur). Budi Utomo setelah terbentuk, para pengurus dan anggotanya segera
mempropagandakan mengenai maksud dan tujuan pembentukan organisasi tersebut kepada
semua masyarakat, terutama kelompok pelajar, pegawai, kaum priayi, dan pedagang
kecil. Propaganda itu ternyata mendapat sambutan hangat. Berita tentang
pembentukan Budi Utomo akhirnya tersiar juga lewat surat kabar sehingga
diketahui oleh pelajar-pelajar di berbagai kota.
DAFTAR
PUSTAKA
Maziyah,
Dra. Siti.2009. Jurnal : Peranan STOVIA dalam Pergerakan Nasional di
Indonesia. Semarang. Universitas Diponegoro.
“Perjalanan
Pendidikan Abad XIX. http://kiwatama.wordpress.com/tag/stovia-school-tot-opleiding-van-indische-artsen/.
Diakses pada 13 Juni 2012.
“Catatan Pendidikan Kedokteran dalam
Tinta Sejarah”.
http://myhealing.wordpress.com/2007/12/24/catatan-pendidikan-kedokteran-dalam-tinta-sejarah/.
Diakses
pada 13 Juni 2012
0 Comments