Raja dan Rakyat: Hubungan Kawula Gusti
Dalam kehidupan tradisional orang Jawa
hubungan antara hamba dan tuan bukan bersifat tak pribadi, melainkan hubungan
ini lebih merupakan ikatan pribadi dan akrab, saling menghormati dan
bertanggung jawab. Sikap yang demikian terlihat dari kenyataan bahwa orang Jawa
pada umumnya sering menyapa orang asing seperti kerabat sendiri, hal tersebut
sesuai dengan peribahasa orang Jawa “
tuna satak bathi sanak” yang berarti rugi sedikit uang tetapi untung
mendapatkan kerabat.
Bila ditinjau dari konsep kawula gusti jelas dapat dilihat secara
jelas betapa sudah berakarnya arti hubungan tuan-hamba. Dalam mistik Jawa,
kata-kata jumbuhing kawula gusti (menyatunya
hamba dan tuan) melukiskan tujuan tertinggi dalam hidup manusia, yaitu
tercapainya “kesatuan” yang sesungguhnya dengan Tuhan. Tetapi hal yang paling
penting dalam uraian tersebut adalah persatuan hamba dan tuan hanyalah mungkin
karena adanya ikatan-ikatan tertentu antara sifat-sifat yang sama pada manusia
dan Tuhan. Namun tidak boleh melanggar garis pemisah yang resmi dari hierarki
ini.
Masyarakat Jawa juga mempunyai kepercayaan
yang tak tergoyahkan akan nasib, akan hal-hal yang sudah ditakdirkan. Ada dua
lapisan utama dalam masyarakat Jawa : wong
cilik (orang biasa) dan panggede
(golongan penguasa), tidak terutama dari segi kekayaan ekonomis atau keunggulan
kelahiran, tetapi dari sego pertuanan dan perhambaan dari segi kawula (hamba) terhadap bendara (tuan), dan tempat seseorang
dalam tatanan masyarakat, jadi hak dan kewajibannya dinaggap sebagai telah
ditakdirkan.
Pemusatan perhatian pada dasar atau inti
“Aku”-nya demi tujuan yang diharapkan akan tercapai bila seseorang bersemedi,
maka dari dalam dirinya akan keluar tenaga. Selain untuk memperoleh berkat dari
dewa-dewa, yang merupakan tujuan semedi adalah untuk mengetahui kehendak Tuhan,
atau dengan kata yang lebih lazim, untuk melihat ke masa depan. Bentuk-bentuk
pemberitahuan yang tidak langsung disebut pralambang.
Jadi pralambang tidak hanya digunakan dalam komunikasi antara Sang Pencipta dan
yang diciptakan semata-mata, tetapi juga, dan secara luas antara manusia dengan
manusia.
Kembali ke konsep kawula gusti tidak
hanya menunjukan hubungan antara yang tiggi dengan yang rendah, tetapi lebih
menunjukan kesalingtergantungan yang erat antara dua unsur yang berbeda namun
tudak terpisahkan. Dalam pikiran imaginatif-proyektifnya, orang Jawa
melambangkan kesatuan kawula gusti ini dengan benda yang amat tepat sekali,
yaitu keris. Keris terdiri dari dua bagian yaitu, warangka (sarungnya) dan curiga
(matanya) yang diberi penafsiran bahwa sarung disamakan dengan rakyat dan
matanya dengan raja, jadi melukiskan hubungan yang mutlak ada, yang satu tidak
sempurna tanpa kehadiran yang lain.
Kedudukan Raja dalam
Kehidupan Negara
Dalam konsep orang Jawa tentang
organisme negara, raja atau ratulah yang menjadi eksponen mikrokosmos, negara.
Dalam pandangan ini terdapat dua faktor yang penting bagi pemahaman orang Jawa
mengenai kehidupan negara : pertama, adanya kesejajaran antara mikrokosmos dan
makrokosmos, dan kedua adalah adanya pengaruh timbal balik antara mikrokosmos
dan makrokosmos. Dalam dunia Islam penghapusan penyamasuaian raja-dewa tidaklah
mengurangi tuntutan pokok : kekuasaan raja menyeluruh dan mutlak atas para
kawula. Mataram dan Demak disebut sebagai pusat Islam saat itu.
Jadi raja ditempatkan pada tampuk tata
masyarakat, jauh di atas jangkauan orang biasa. Sudut pandangan ini pada suatu
waktu menimbulakan gagasan tentang raja sebagai kekuasaan politik yang tidak
aktif., sebagai ratu pinandita (raja
pendeta) yang daripadanya memancar pengaruh-pengaruh yang dermawan yang
meresapi seluruh kerajaannya. Peran serta yang aktif dalam urusan negara
diserahkan kepada pejabat-pejabat utamanya.
Tugas raja sejajar dengan prototipe
surgawinya, dia harus mempertahankan atau memulihkan tata dunianya, sehingga
bukan hanya dalam struktur tetapi juga dalam fungsinya, mikrokosmos akan
mencerminkan makrokosmos. Tugas raja dalam bidang politik adalah menjaga supaya
jangan sampai terjadi gangguan-gangguan dan memulihkan ketertiban kalau
seandainya sudah terjadi. Jadi orang dapat melihat bahwa campur tangan raja
dianggap perlu hanyalah bila keadaan kerajaan menjadi tidak seimbang. Perhatian
pertama raja adalah pengaturan birokrasi dan pelaksanaan pemerintahan. Yang
kedua adalah pengawasan atas pegawai-pegawainya, yang ketiga megetahui situasi
di semua bagian kerajaan dan yang
terakhir menghukum para pelaku kejahatan.
Dibebani oleh godaan-godaan kekuasaan
yang tiada batas dan tanggung jawab tunggal dan luas sekali untuk
mempertahankan ketertiban dunia ini, maka raja haruslah luar biasa
keunggulannya dan kecakapannya. Raja yang ideal menurun masyarakat Jawa adalah
raja yang yang terus menerus mencari tuntunan ilahi di dalam batin ini. Dan
akan menyatakan dirinya dalam kawicaksanaan raja, suatu kemampuan yang langka
dan dihargai sangat tinggi, yang tidak hanya memberikan pemiliknya pengetahuan
yang seluas dan sebanyak mungkin tetapi juga kesadaran terdalam mengenai
kenyataan dan rasa keadilan.
Maka raja pun seyogyanya memiliki
kedelapan kebajikan ini :
1.
Dana yang tak
terbatas, kedermawanan (sifat Bathara Endra)
2.
Kemampuan untuk
menekan semua kejahatan (Yama)
3.
Berusaha
membujuk dengan ramah dan tindakan yang bijaksana (Surya)
4.
Kasih sayang (
Bathara Candra)
5.
Pandangan yang
teliti dan pikiran yang dalam (Bathara Bayu)
6.
Kedermawanan
dalam memberikan harta benda dan hiburan (Kuwera)
7.
Kecerdasan yang
tajam dan cemerlang dalam menghadapi kesulitan macam apa pun (Baruna)
8.
Keberanian yang
berkobar-kobar dan tekad yang bulat dalam melawan setiap musuh (Brama)
Pada semua tokoh ini, sifat yang paling
terpuji adalah kekuatan batin yang kuat dalam usaha menahan diri dari
kenikmatan duniawi. Perilaku yang demikian memperlihatkan tekad yang tulus dan
teguh untuk mencapai sesuatu maksud tertentu. Syarat lain menjadi raja ideal
ialah kemampuannya untuk memilih pegawai-pegawainya.
Pengesahan Kedudukan
Raja:
Penggantian, Perebutan
Kekuasaan dan Kemegahan
Hubungan, entah darah entah pengalaman
yang serupa, dengan seorang pendahulu yang agung memungkinkan seseorang ikut
tersinari oleh aura keagungan. Tetapi juga, dan inilah yang terpenting, ini
menjadikannya mata rantai kesinambungan. Bila suatu wangsa yang memerintah
tidak mempunyai tali hubungan darah dengan dinasti yang sebelumnya, maka orang
Jawa mengusahakan berbagai cara untuk membuktikan kesinambungan.
Lalu yang terpenting dari sarana
spiritual untuk kemegahan raja adalah jasa di bidang keagamaan pada umumnya. Memiliki ciri-ciri, tindak-tanduk,
dan perilaku yang diperlukan oleh seorang raja sangatlah banyak menambah
kemegahanseorang raja, kesempurnaan batin yang demikian dianggap diperlihatkan
oleh kecakapan si pemilik untuk melakukan perbuatan yang tidak dapat
dilaksanakan oleh manusia biasa.
Cara lain untuk menyanjung-tinggikan
kemegahan raja ialah dengan persekutuan dengan apa yang menurut alam kepercayaan
asli disebut makhluk halus yang memiliki kekuatan gaib, kekuatan gaib akan
menjadi kekuatan yang mendorong dan memperhebat bukannya membahayakan. Dan
kekayaan dianggap sebagai salah satu sarana material bagi kultus kemegahan.
Kekayaan mencakup rakyat dan jumlah anggota keluarga yang besar. Serta tal lupa
yang berikutnya adalah angkatan bersenjata sebagai sarana material bagi
kemegahan raja. Sesungguhnya dalam kultus kemegahan ini ternyata merupakan
alasan sah untuk berperang.
Jadi tujuan utama kedudukan raja adalah
terutama mengejar kemuliaan raja, da praktek bina negara memperkuat pandangan
yang demikian. Tetapi dalam konteks cita-cita dan kosmologi Jawa, kedudukan raja
sebagai pencerminan pemerintahan Tuhan adalah untuk mempertahankan keselarasan
dan ketertiban dalam dunia manusia yang lebih kecil ini. Dan tugas yang seluhur
itu, kedudukan terhormat setinggi itu, tidak mungkin mempunyai tujuan yang
tidak begitu berarti, seperti memperoleh harata duniawi atau kekuatan fisik
atau suatu tanda kebesaran lahiriah semata.
Dan apabila raja melakukan kesalahan
yang tidak wajar, maka rakyat berhak untuk protes atau mungkin dapat melakukan
pemberontakan. Karena masyarakat Jawa masih membolehkan penindasan berlaku.
PERLENGKAPAN
TEKNIS KEDUDUKAN RAJA :
MASALAH
TATA PEMERINTAHAN
Tujuan dan Sarana
Birokrasi
Birokrasi sebagai perlengkapan teknis
kedudukan raja harus mencerminkan perhatian utama raja, yaitu pemeliharaan
keselarasan. Dalam prakteknya ini berarti menjaga dan memelihara keamanan serta
kemungkinan gangguan dari luar maupun kejahatan atau ketidakberesan di dalam
negeri yang dapat mengganggu keseimbangan antara dua lingkungan alam itu.
Gerombolan penjahat dan penyamun rupanya
merupakan lembaga yang sudah mapan dan lama usianya. Para penjahat membuat
keadaan kerajaan resah. Untuk mengatasi hal tersebut maka kerajaan melakukan
sistem pajak terhadap daerah-daerah kekuasaannya dan sebagai imbalannya
kerajaan akan memberikan pengamanan terhadap gangguan perampok maupun penjahat.
Dan kemudian dibentuklah peraturan-peraturan atau bisa disebut kitab hukum agar
dapat memberikan hukuman yang setimpal kepada para penjahat.
Usaha untuk menghindarkan
masalah-masalah yang terkandung dalam dan timbul karena adanya organisasi yang
rumit dan pelik dengan menjalankan tata pemerintahan negara sesederhana
mungkin. Daerah administratif biasanya bersifat berswasembada dalam keuangan.
Dan juga tak lepas dari peran jabatan-jabatan di bawah raja yang kemudian
membentukan lapisan sosial dan kelompok kecil. Salah satunya adalah kaum
priyayi yang mengabdi kepada raja yang diharapkan agar ia tidak akan pernah
didorong oleh kepentingan-kepentingan pribadi atau kebutuhan akan uang.
Dalam masyarakat Jawa membagi kehidupan
priyayi menjadi tiga bagian, yang pertama adalah masa pertumbuhan (masa muda)
ditandai oleh usaha mencoba-coba untuk mendapat pengalaman dan latihan lara-lapa, dianggap sebagai masa belajar
sebelum memikul tugas pada pemerintahan. Yang kedua ditandai dengan
pertanggungjawaban dan pelaksanaan kewajiban disertai dengan usaha meraih
kedudukan dan keagungan dalam dunia kebendaan. Dan tahap ketiga adalah saat
setelah priyayi mengundurkan diri lalu merenungkan apa yang menjadi tujuan
hidupnya dan berusaha untuk mencari pengetahuan mistik.
Organisasi Teknis
Pemerintahan
Terdapat perbedaan dalam sistem yang
didasarkan dan harus didasarkan pada perbedaan status politik antara pejabat
tinggi di ibukota dengan bupati vassal. Karena semakin rumitnya pengaturan tata
kehidupan dikraton maka semakin banyakpula jumlah pejabat yang dibutuhkan dan
karena sistem penggajian dengan lungguh maka dengan sendirinya tanah yang
resedia harus diperluas. Pejabat raja yang berada diluar ibukota jadi yang
berada di luar Nagaragung, pasti lebih bebas bergerak, mereka kurang diawasi
semata-mata karena jauh dari kraton. Pemerintahan raja sebenarnya merupakan
hubungan yang hierarkis antara satuan-satuan kekuasaan yang berdiri sendiri,
sangat otonom dan dapat mencukupi kebutuhan sendiri, yang secara vertikal
dihubungkan oleh ikatan-ikatan perorangan diantara beberapa pemegang kekuasaan.
Para pejabat tampaknya memiliki otonomi penuh dalam hal pengangkatan pegawai
bawahannya dan nampaknya juga dalam pembagian daerah-daerah yurisdiksi
masing-masing.
Untuk mempertahankan kekuasaanya atas
para bawahannya raja menggunakan tiga cara. Pertama, menggunakan kekerasan
bahkan sampai bisa menjatuhkan hukuman matiatas lawan-lawannya beserta keluarga,
cara yang sama sekali tidak jarang dilaksanakan. Cara berikutnya adalah dengan
memaksa orang-orang terkemuka yang berpengaruh di Kraton untuk jangka waktu
yang lama sedangkan daerahnya disuruh urus oleh wakil mereka masing-masing.
Cara ketiga ialah menjalin persekutuan melalui perkawinan.
Lalu terdapat jabatan yang tidak
bersifat turun-temurun, yaitujabatan raden adipati, penghulu, dan jaksa.
Alasannya karena kedudukan itu dipilih raja terhadap orang yang paling
dipercayainaya atau tangan kanannya.
PERLENGKAPAN
MATERIAL KEDUDUKAN RAJA:
SISTEM
PERPAJAKAN DAN PENGERAHAN TENAGA PADA ZAMAN MATARAM II
Pajak dan Perpajakan
Sepanjang berabad-abad pemerintahan raja
di Mataram ini sudah dilaksanakan hidup swasembada atau otonom yang
sebenar-benarnya. Hampir setiap keperluan kerajaan memerlukan biaya dan
kerajaan mempunyai sumber pendapatannya sendiri. Dengan sumberpendapatan inilah
negara harus berusaha untuk sedapat mungkin menutupi biaya pengeluaran. Yang
perlu diperhatikan adalah bahwa dalam negarayang ekonominya didasarkan pada
desa-desa agraris, maka sebagian besar pungutan dari rakyatnya dalam bentuk
barang maupun tenaga untuk kerja. Kota-ota pelabuhan juga dianggap penting
sebagai sumber pendapatan kerajaan, dengan memberlakukan bea cukai. Tetapi
walaupun dapat dikumpulkan kekayaan yang besar dari bea dan cukai, namun untuk
dapat berjalan dengan baik kerajaan sebagai suatu organisasi institusional,
pertama-tama dan terutama harus mengandalkan para petani yang dapat memberikan
tenaga untuk melakukan peekerjaan memelihara dan menopang kerajaan mulai dari pekerjann
memperbaiki jalan sampai kepada pengangkutan barang-barang, sampai dengan
berperang sebagai tentara kerajaan.
Pengerahan Tenaga
Pentingnya pungutan pajak dalam bentuk
hasil bumi dan kemudian dalam bentuk uang untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran negara, tidak dapat menandingi pentingnya penggunaan
dan pengerahan tenaga manusia untuk menjamin kelancaran hidup negara. Jadi dapat disimpulkan bahwa :
1.
Perpajakan dan
sistem pengerahan tenaga, mengikuti sifat garis organisasi pemerintah, boleh dikatakan sederhana dan
dapat disebut pembiayaan ad hoc atau contingent.
2.
Sumber kekayaan
negara yang terpenting adalah perdagangan dan perniagaan, tetapi setelah
perdagangan macet sama sekali akibat persaingan dari pihak Belanda, maka
petanilah yang harus menggantikan sehingga sistem pengumpulan harta kekayaan
menjadi sangat berat.
3.
Pengerahan
tenaga rakyat merupakan faktor ekonomi yang terpenting untuk kelancaran hidup
negara.
0 Comments