KESENIAN
Dalam
menilai arti keindahan terbentur pada berbagai kesulitan di dalam menilainya
karena ternyatabahwa arti indah
bagi setiap bangsa dan zaman tidak selalu sama. Untuk menilai tinggi rendahnya
hasil karya seni dengan pasti atau mutlak, memang tidak mudah, bahkan dapat
dikatakan tidak mungkin. Akan tetapi, untuk mengenali hasil karya seni suatu
bangsa secara luas, akan sedikit mudah apabila kita dapat mengenali, memahami
dan mengerti art kata stijl atau gaya itu lebih dulu. Kata stijl dari
bahasa Latin stillus berarti ‘alat penggores’ atau ‘kalam’; arti kiasnya
adalah cara menggores atau menulis. Bahasa Belandanya Schrijftrant atau stijl,
Bahasa Jawa yang tepat cengkok, cara. Pendapat kedua mengatakan stijl
berasal dari bahasa Yunani stili atau stilo yang artinya ‘batang tiang’, disini
jugaa berarti kiasan seperti dalam bahasa Jawa cengkok. Gaya adalah
bentuk yang tetap atau konstan yang dimiliki oleh seseorang maupun kelompok,
baik dalam unsur-unsur, kualitas, maupun ekspresinya, misalnya dalam hal
berjalan, menulis, gerakan badan, karya seni, dan sebagainya.
Bagi
seorang arkeolog, yang dimaksud dengan gaya, khususnya diutamakan pada motif
atau pola. Dengan demikian, gaya secara tidak lansung dapat dipergunakan untuk
memahami kualitas karya suatu budaya yang dapat membantunya untuk melokalisasi
dan mendata suatu karya, kemudian untuk dikembangkan sebagai upaya mencari
hubungan antara suatu karya kelompok-kelompok masyarakat, atau antara berbagai
hasil budaya bangsa, misalnya untuk menentukan bentuk atau ciri penting suatu
artefak, termasuk juga untuk menentukan keindahan artefak. Para arkeolog
relatif hanya menggunakan sedikit saja istilah –istilah artistik dan perasaan
keindahan, sedangkan yang diutamakan adalah artefak sebagai objek budaya.
Sedankan bagi ahli sejarah seni rupa, pengertian gaya adalah objek yang pokok
atau esensial di dalam penelitian dan pengamatan karya seni. Pakar sejarah seni
mempelajari sebuah artefak atau manusia pencptanya secara mendalam, baik tentang
sejauh perkembangan kehidupannya maupun problem-problem tentnag susunan serta
perubahannya.
Suatu karya berupa sebuah bangunan atau
barang dapat dikatakan mempunyai gaya bilamana memiliki bentuk (vorm),
hiasan (versiering) dari benda itu selaras (harmonis),
sesuaidengan kegunaan dan bahan material yang dipergunakan. Plato, ahli pikir
Yunani yang hidup pada abad IV sebelum Masehi mengatakan,
...suatu barang atau benda hasil karya
seni rupa dapat dikatakan sempurna bilamana memenuhi “kegunaanya”, “keindahan”,
“kesesuaian”, akan “warna” dan “bahannya”...
Selanjutya
Henk Baren menyebutkan bahwa kata stijl sendiri mempunyai empat macam
pengertian, yaitu sebagai berikut.
- Gaya objektif, yaitu gaya dari benda atau barangnya itu sendiri.
- Subjectieve Stijl atau (persoonlijke stijl), yaitu gaya yang dimiliki oleh si seniman, penulis, pemahat, pelukis, dan arsitek, yang merupakan ciri sebagai pertanda dari hasil karyanya.
- Stijl massa atau Nationale stijl, yaitu gaya yang menjaadi ciri atau pertanda (watak) sesuatau bangsa, misalnya bangsa Eropa, orang Timur, Jepang, Indonesia, dan lainnya.
- Gaya khusus pada suatu keistimewaan teknik (technische stijl), yaitu tentang bahan atau material yang dipergunakan, misalnya bahan kayu atau besi sesuatu bangunan didirikan orang jadi, yang memegang peranan yaitu teknik dan material yang dipergunakan.
Akhirnya
keempat gaya tersebut di atas selalu berkaitan dengan suatu zaman atau waktu,
yang disebut orang gaya suatu zaman. Dengan mengenal dan memahami benar
akan arti kelima jenis gaya tersebutdengan sadar dan paham benar, diharap hali
ini membantu memudahkan penelitian hasil karya seni bangunan atau berbagai
cabang seni lainnya, seperti : seni rupa, seni sastra, seni gerak, seni suara,
dan sebagainya. Ternyata sering kali orang mengemukakan persamaan-persamaan
yang ada, pada umumnya kurang cukup pengetahuannya tentang berbagai gaya yang
terkandung pada kelima macam gaya yang tersebut diatas. Hal-hal demikian sering
terjadi berakibat adanya kesalahan besar karena hanya dengan dasar
menghubung-hubungkan saja, tanpa dasar yang kokoh. Sebagai contoh yang baik
dapat dikemukakan bahwa orang awam seringkali menyamakan hasil karya seni yang
berasal dari gaya suatu zaman seperti : Yunani Klasik, Romawi Klasin, dan
Renaissan. Hasil karya seni dari ketiga gaya zaman tersebut pada hakikatnya
merupakan kelanjutan saja dengan masing-masing bercirikan hasil yang sama, yang
hanya berbeda dalam detail-detail serta jiwwa dan zamannya.
Kemampuan
dan kemahiran tentang berkesenian pada suku Jawa sudah sangat tinggi sebelum
kehadira bangsa Eropa, baik seni pertunjukan maupun seni rupa. Disayangkan
karya-karya tulis khususnya yang berkaitan atau mengulas tentang karya seni
oleh suku Jawa tersebut diatas dirasa sangat kurang. Baru pada tahun 1921
terbit buku-buku tentang ragam seni suara dan alat-alat bunyi-bunyian
bumiputra. Krida Beksa Wirama yang didirikan oleh Pangeran
Suryadiningrat dan Pangeran Tedjo Kusumo pada tahun 1916 ternyata sudah
terlebih dahulu membuka sekolah tari dan musik gamelan. Pada kongres Java
Instituut pada tanggal 18 Juni 1921 di Bandung, diadakan pertunjukan pentas
dengan cerita Jawa (Sunda) Lutung
Kasarung. Inilah pertunjukan di atas pentas dengan panggung prosenium yang
pertama dengan cara gaya Eropa dengan menggunakan skrip.
a.
Seni
Kerajinan ( Seni Kriya)
Seni kerajinan orang Jawa juga sudah
sangat berkembang saat kehadiran orang Eropa. Raja-raja bumiputra memiliki
tukang-tukang pengrajin yang sangat mahir. Mereka bertempat tinggal dalam
wilayah desa tertentu secara turun-temurun. Contoh nama desa-desa masih dapat
dirunut dari toponim di bekas ibukota kerajaan kuno, seperti di Kotagede
sebagai ibukota Kerajaan Mataram Islam, misalnya nama desa : Batikan, Patalan,
Sayangan, Sekaran, Bludiran, dan sebagainya. Kebesaran dan kekayaan seorang
raja atau bangsawan ditunjukan dengan cara mengenakan kelenkapan pakaian dan
pemilikan benda-benda karya seni yang bermutu tinggi seperti : kain tenun atau
batik, perhiasan badan seperti gelang, kalung, rumah, senjata, alat rumah
tangga dan sebagainya. Seni kerajinan
yang berkembang di seluruh pelosok Pulau Jawa, bahkan Nusantara, terutama ialah
seni pintal atau tenun. Alat tenun dapat dikatakan terdapat di setiap rumah
tangga. Seni kerajinan yang merupakan komoditi perdagangan dan sangat digemari
masyrakat Muslim di Hindia-Belanda, antara lain : sajadah dan kopiah hasil
produksi dari Pulau Bawean. Perhiasan badan sperti gelang, kalung dan subang
adalah karya orang Sendang, Gresik, Jawa Timur. Alat senjata berpamor dan
kerajinan perak berasal dari Jogjakarta dan Solo, seni batik didapatkan di
berbagai kota kabupaten, baik di pedalaman maupun di pesisir Pulau Jawa dan
sebagainya. Namun pada masa kemudian karena barang-barang kerajinan di atas
banyak dihasilkan oleh pabrik, maka secara beransur-angsur mundur dan beberapa
diantaranya punah, karenanya pada masa ini masyarakat menyebutnya jaman sukar
atau malaise (meleset) yang mengakibatkan kemiskinan. Banyak pusat
kerajinan hilang di berbagai tempat di Jawa. Pada tahun 1888 pihak pemerintah
Belanda tergugah dan berusaha memajukan kembali usaha kerajinan, tetapi kurang
berhasil, kemudian diadakan berbagai macam pemran di museum-museum. Pemerintah
juga mengembangkan pendidikan seni kerajinan, bahkan mencarikan pasaran di
Eropa. Jasa para sarjana Belanda yang telah mengdokumentasikan karya berbagai
seni dan kerajinan Jawa secara tertulis. Dengan demikian, dapat diikuti oleh
para peneliti atau cendekiawan generasi selanjutnya. Arahan diberikan untuk
mendapatkan pasaran yang luas dikalangan bangsa Eropa dan juga untuk diekspor
ke Eropa.
b.
Seni
Pertunjukan Sastra dan Film
Augustine
Michiels, seorang Kapitein der Papangers ternyata adalah tuan tanah kaya
dalam sejarah Batavia abad XIX. Ia berdarah Eropa-Asia, perihal kehidupannya
dapat mewakili gaya hidup orang Indis yang ditunjukan dalam kehidupan
sehari-hari di lingkungan rumah tangganya. Budaknya ada yang bertugaas khusus
menghibur dengan menjadi “pemain musik”. Dari kelompok mereka ini terbentukapa
yang disebut oleh F. De Haan disebut sebagai slaven concerten atau slavenorkest.
Memiliki slavenorkest atau budak pemain musik, menunjukan suatu gaya
hidup mewah dengan derajat tertentu di kalangan para landheer pada zaman
itu. Di Keraton Sultan Hamengku Buwono di Jogjakarta terdapat juga abdi dalam
pemain musik barat. Para pemain musik Barat ini bertempat tinggal di Kampung
Musikanan dan di halaman dalam Keraton terdapat bangunan koepel
khususnya untuk tempat bermain musik.
Dari testamen rahasia Augustine
Michiels, bahwa dari budak-budaknya yang berjumlah 130 orang terdapat 30 orang
budak yang oleh V.I. van de Wall disebut sebagai pemain musik yang pandai dan
serba bisa (de onderscheidene bekwame muzijkanten). Disamping itu, ada 4
orang penari ronggeng, 2 pemain gambang dan 2 penari topeng, bahkan orang China
juga melatih budak mereka untuk menjadi artis dalam rombongan sandiwara Cina,
yang berkembang pesat dimasa itu. Pauline de Milone menunjukan bahwa gaya Indis
di Jakarta memliki “ciri-ciri gaya seni setempat ditambah unsur-unsur seni
Cina” yang dapat pula disimak dalam beberapa bentuk musik rakyat Betawi hingga
kini. Jika ciri Indis dengan unsur musik brass-band dari Eropa terlihat
kuat dalam tanjidor yang sekarang cenderung semakin memudar, maka unsur
nada musik Cina jelas terdengar dalam gambang kromong. Paduan selaras
daari kedua unsur luar ini terwakili dengan baik dalam musik keroncong.
Bentuk paduan irama musik dengan gerak tari dalam teater melahirkan ciri Indis,
yang dikenal sebagai komedi stamboel. Stamboelan atau lagu-lagu yang dibuat khusus
untuk mengiringi bagian-bagian yang penuh sentimen dari adegan komedi stamboel.
Lagu itu harus dinyanyikan dengan nada yang lebih halus, lembut, mengharukan
dan mendayu-dayu. Pada perkembangannya kemudian lagu-lagu stamboel dimainkan di
luar accara musik panggung komedi stamboel.
Miss Dja dan Mis Riboet dari Orion |
Kemunculan pertama komedi stamboel di
Surabaya pada sekitar masa peralihan awal abad XX, banyak dikaitkan dengan
usaha dan jasa seorang Indo-eropa bernama August Mathieu. Kostum para pemain
tamboel lebih bergaya Oriental, sementara tata ruang pentas dengan panggung
prosenium cenderung mengikuti pola Eropa. Stambul yang mengambil nama Istambul
untuk mematrikan kesan eksotis dunia Timur, mula-mula mengadaptasi
kisah-kisah seribu satu malam, kemudian melangkah kepada cerita-cerita dari
Eropa, dan pada akhirnya di tahun 1920-an repertoar yang dipentaskan sudah
lebuuh murni menggambarkan suasana kehidupan masyarakat bumiputera. Dari
repertoar-repertoar panggung komedi stamboel inilah, kemudian langkah pertama
dimulaidalam pertumbuhan dunia film di Nusantara. Film yang pertama kali dibuat
di Bandung pada tahun 1928 mengambil cerita dari mitologi Sunda berjudul Loetoeng
Kasaroeng, produksi Jawa Film Company, milik gabungan seorang Belanda
(Heuveldrop) dengan seorang Jerman (Kruger).
Latar belakang cerita, iringan lagu, dan
pementasan panggung komedi stamboel yang bergaya Indis ini sangat menarik
perhatian penulis, lebih-lebih kemudian diangkat ke layar film. Apabila
diperhatikan perkembangannya, tampak jelaas adanya alur menuju ke bentuk
penayangan cerita film dan seni pentas teater di Indonesia hingga akhir abad XX
ini. August Mathhieu pada tahun 1881 bermaksud membuat atau mendirikan opera.
Ia mendapatkan kesulitan keuangan dan
pengadaan perlengkapan. Seorang Cina kaya meminjamkan modal dan menggunakan rumahnya
yang besar untuk disewa sehingga akhirnya ia senidri mampu membuat dan
menggelarkan karyanya di gedung pertunjukan. Mula-mula ia mendapatkan berbagai
kesulitan, kemudian para pemain dapat menguasai peranan masing-masing yang pada
akhirnya menarik para pengunjung. Lambat laun opera Indis yang didirikannya
atau sebut saja Komedie Stamboel ini mendapatkan sukses. Kemudian Mathieu dan
kelompoknya mengadakan pertunjukam keliling Pulau Jawa, pada 1906 menetap di
Bumiayu, Tegal. Kematian dari Mathieu yang cepat mengakhiri karyanya dan
menamatkan usahanya Komedie Stamboel tersebut.
Ada juga penerusnya yang mengusahakan Komedie Stamboel tetap hhidup tetapi
akhirnya menurun dan mati.
Daftar Pustaka
Soekiman,
Djoko. 2000. Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa
(abad XVIII-medio abad XX). Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya.
0 Comments